Time After Time ~Chapter 2

“Leo… Leo…”

Kudengar suatu suara bernada cemas memanggilku. Kurasakan pula tubuhku diguncang – guncang. Entah pemilik suara dan tangan itu sama atau tidak, tapi yang jelas dia ataupun mereka khawatir sekali denganku sekarang.

Tidak, tidak bisa begini, pikirku. Aku tidak boleh hanya tergeletak di sini sementara mereka menantiku. Aku harus bangun. Harus! Ayolah, Leo!

Dan akhirnya, aku berhasil mendapatkan kesadaranku. Kucoba untuk membuka kedua mataku perlahan – lahan. Kabur, mataku mendapati dua orang tengah membungkuk memperhatikanku. Yang satu berbadan besar, rambutnya model cepak agak tebal, dan memakai kaos putih. Hmmm, sepertinya itu coach. Dan yang satu lagi sepertinya wanita. Terdengar dari suaranya yang terus memanggilku. Tampaknya dia yang sedari tadi memanggilku dengan cemas. Ia juga yang mengguncang – guncang tubuhku penuh semangat. Hehe… dia benar – benar khawatir, ya. Selalu seperti ini akhirnya. Aku selalu membuatnya begini.

“Leo, akhirnya kamu sadar juga!” dia menghela nafas. Coach tersenyum. Sekarang aku sudah jelas melihat.

Kucoba mengangkat kepalaku. Ukh, pusing. Tapi sepertinya masih bisa kutahan. Yang jelas aku harus bergegas menuju lapangan.

“Eh, kamu rebahan dulu!” cegahnya.

“Jangan begitu, Mai! Aku harus kembali ke lapangan! Eksekusinya harus kuselesaikan!” aku mencoba bangkit dari kursi panjang tempatku rebah sedari tadi. Dan baru kusadari, ternyata aku berada di ruang ganti pemain.

Tiba – tiba sebelah tangan coach menahanku. Kemudian, ia mengatakan sesuatu yang membuatku tidak bisa memaafkan diriku. “Kita sudah kalah, Leo!”

Gak mungkin! Akukancuman pingsan sebentar! Masa tidak bisa diberi kesempatan kedua untuk mencoba adu pinalti lagi! kalimat-kalimat itu terngiang di kepalaku tanpa sanggup aku keluarkan. Bibirku hanya menganga dan mataku melongo ke arah coach seperti orang bodoh. Dan sepertinya, setetes air turun dari mata kananku.

“Kamu pingsan setelah menendang, Leo. Dan tendangan kamu tidak tepat sasaran.” Coach melanjutkan. “Kalaupun kamu pingsan sebelum menendang, sudah pasti kami tidak akan menunggumu. Pemain lain harus menggantikanmu.” Sekarang, kedua tangan coach memegang bahuku dan menekannya pelan.

Aku tertegun. Mendadak, kepalaku pusing lagi. Apa itu benar? Aku sudah melakukan tendangan penalti? Tapi kenapa aku tidak ingat ya? Aduh, pusing sekali.

“Kamu gak apa – apa, Leo?” tanya Mai. Dia mulai cemas lagi.

“Gak apa – apa kok!” aku mencoba tersenyum sembari memegang kepalaku yang serasa mau pecah ini. Arkhhhh! Kenapa aku dihadiahkan sakit kepala yang menyulitkan ini, sih?
coach menepuk – nepuk pundakku, hendak menenangkanku sepertinya. Aku sedikit terbatuk. Tepukannya terlalu keras. “Sudahlah, Leo! Tidak apa – apa. Toh tim kita sampai di sini juga sudah hebat. Sekolah kitakan masih bisa ikut lagi tahun depan.”

“Iya, tapi aku sudah bukan di tim ini lagi!” seruku.

“Ya kamukanbisa gabung di tim SMA kita. Toh juga kamu rencananya mau lanjut ke SMA kitakan? Saya juga tetap bangga padamu, Leo.”

Aku berdecak. Ini benar – benar tidak bisa diterima. Padahal tinggal sedikit lagi tim kami bakal menang. Kalau saja aku tidak gagal mengeksekusi tendangan tadi seperti yang diceritakan coach. Seandainya bukan aku yang mengeksekusi…

“Hey, kita keluar yuk!” ajakan Mai membuyarkan pikiranku. Aku mengangguk. Aku kemudian berdiri sambil terus memegang kepalaku yang terasa semakin menyebalkan.

Aku berjalan menuju pintu keluar dengan tangan Mai terus merangkulku. Aku langsung melepaskan diriku darinya. Sedikit malu rasanya dibopong anak perempuan. Dan lagi, aku sudah cukup membuatnya cemas. Masa sekarang aku mau merepotkannya?

“Atau saya saja yang membopongmu?” suara coach sedikit mengagetkanku. “Jalanmu oyong tuh!”

“Tidak, tidak us…”

Kesadaranku masih utuh ketika tubuhku terjatuh dengan merepotkannya ke arah Mai. Setelah itu, semua gelap.

***

   Setengah jam sebelumnya

“YUKA… YUKA…”

Terdengar suara supporter sekolah kami semakin keras memberi semangat.

Kami jadi semakin semangat setelah Rico dengan indahnya membobol gawang dengan tendangannya. Hal itu sepertinya sedikit membuat tertohok Tadaru. Lihat saja, wajah pemain mereka mendadak tegang setelah menyaksikan aksi Riko itu. Hmm, aku jadi tidak sabar menyaksikan eksekusi pemain mereka.

Dan pemain mereka yang bernomor 5, kalau tidak salah namanya Fai, yang mendapat giliran pertama untuk melakukan penalty shootout bagi Tadaru. Dia kelihatan meregangkan tangannya sekarang sambil melompat – lompat kecil. Hmmm, buat apa ya? Mengusir ketegangankah? Hebat juga kami ya, bisa membuat tim besar seperti mereka sedikit kehilangan keyakinan.

Well, well, aku berharap ini tidak terjadi karena kalimat sombongku barusan. Fai dengan sukses memasukkan bola ke gawang James. ampun deh, kedudukan jadi samakankalau begini? Dan mereka… mereka jadi percaya diri lagi. Huhhh, semoga giliran kami setelah ini berhasil. Semoga yang diturunkan coach sehebat Riko dalam hal pinalti. Dan aku sangat – sangat berharap semoga yang diturunkan itu DIA. Aku lantas tersenyum, yang kuyakini membuat wajahku jadi kelihatan bodoh.

Dari bangku official, kulihat Donovan berjalan mendekati kotak pinalti. Wah, syukurlah! Memang pilihan yang tepat menurunkan Donovan untuk eksekusi pinalti. Tendangannya keras dan terarah untuk bola mati. Coach sangat sayang padanya. Menurutku, dia tidak kalah dengan Beckham. Yah, beda tipis sajalah. Walau begitu, menurutku dia bukan yang terhebat di tim kami. Masih ada dia. Aku tersenyum, kali ini membuat wajahku lebih bodoh lagi kurasa.

Dia juga… Ah! YEEEEEHHHHH!!! Berhasil! Berhasil! Donovan melakukannya dengan baik! Kiper Tadaru yang namanyaEdoitu juga cukup hebat. Dia hampir saja menangkap bolanya itu. Untung saja tidak berhasil. Dia kurang cepat dari bola sepertinya. Huaaa… kami unggul.

Eits, aku tidak boleh sombong. Mereka saja yang di lapangan tetap berusaha tenang dan berusaha tidak terlalu gembira dulu sebelum mereka benar – benar menang. Masa aku yang cuman berdiri menyaksikan ini lantas sombong?

Dan hingga empat pemain dari tiap tim diturunkan, hasil tetap seri. Aduh, aku tegang. Jantungku jadi berdebar – debar. Kedua kakiku goyang – goyang tidak jelas, jadi terlihat seperti aku sesak buang air kecil padahal tidak. Oh Tuhan, bagaimana ini? Apakah tim kami bisa meraih kemenangan pertama kami? Satu hal juga yang membuatku kepikiran, kenapa dia tidak diturunkan? Atau mungkin belum? Hhh… jantungku tidak hentinya berdebar layaknya pintu yang digedor dengan batang pohon besar. Lantas kupegang dada kiriku, mencegahnya lepas dari penyangganya.Ada– ada saja aku.

Satu kali lagi… ya satu lagi dan kami akan menang. Ohh… ayolah, turunkan dia…

Dia akhirnya tampil juga. Ahhhhh, terima kasih Tuhan! Akhirnya dia yang berkesempatan mengeksekusi. Dia kelihatan tenang berjalan menuju tempat eksekusinya. Aku percaya dia pasti bisa melakukannya. Oh Tuhan… ijinkanlah dia untuk menendang dengan baik.

Spontan, mulutku terbuka, meneriakkan namanya dan memberinya semangat. Dan waktu serasa berhenti sewaktu dia memandangku sembari tersenyum. Dia mengacungkan jempolnya. Huh, dasar dia! Selalu saja membuatku terpesona.

Well, walaupun dia sukses menghadiahkan tim kami satu tendangan pemberi semangat serta memberi assist yang mantap menuju gol kedua, dia tidak berhasil mengeksekusi pinalti. Tendangannya cukup keras, cepat, dan sama sekali tidak bisa ditangkap olehEdo. Tapi sayang, tidak tepat sasaran. Tendangannya mengenai tiang mistar sebelah kanan. Oh, dia kelihatan kecewa sekali. Aku jadi sedih melihatnya begitu. Rasanya jika melihatnya dalam raut wajah seperti itu, aku jadi ingin menyentuh kedua pipinya dan menariknya, menyuruhnya untuk tersenyum. Sungguh, jangan pasang raut wajah seperti itu, Leo.

Aku melihatnya berjalan dengan langkah gontai menuju teman – temannya yang terlihat semakin tegang setelah hasil pinalti barusan. Dia memegang bagian depan kepalanya. Wajahnya terlihat kesakitan. Spontan – lagi-lagi—aku berlari ke lapangan. Dan seperti yang kukira, dia tiba – tiba oleng dan tersungkur ke tanah. Dan aku gagal meraihnya. Oh Tuhan, kenapa hal ini harus terjadi di saat – saat seperti ini?

Aku menangis sambil merangkul bagian kepalanya. teman – teman satu timnya berniat mendekati kami, namun langsung dihadang coach. Coach langsung mendekati kami dan jongkok di dekat kami dengan wajah kaget. Untungnya, tim medis langsung datang sambil membawa gendongan untuk mengangkat tubuh Leo. Kami pun menuju ke ruang ganti. Aku mengusap air mataku dan berdoa dalam hati semoga tidak terjadi apa – apa dengannya. Semoga…